MATI DIRI
Jika ingin mati sekarang, diri
bunuhlah aku si nasib sial
melupakan hiangar bingar
dunia dan segala janji
atas kepalsuan yang menari
di jalan kerinduan sarat kata
Jika ingin mati sekarang, diri
bunuhlah aku si masokis
yang meleleh luka malam hari
ketika dunia hanya gema
sepi dan melolong
di mana jejakmu tersamar
dan hilang
bukan karena pesimis
begitu dungu
Jika harus mati sekarang diri
menghujamkan nasib dendam
serupa kejahatan
dan sebilah pisau
terhunus pada apa
yang pantas dilawan
atau bersabar lagi sedikit
karena setiap hari
ada yang jatuh dan bangkit.
2011
GAIRAH MELAWAN
O’Hatiku, Rajawali
Pada hari terang
Cahaya menyibak gelap
Di mana tiada lagi perih
Karena tak harus lagi
Luka-luka itu
Kini terpusat di mata dan paruh
Sebuah akumulasi
Tercengkeram
Antara kesadaran dan kepalan
Siapa menghantam
Kejahatan yang telah merampas hidupmu
O’Hatiku, Rajawali
Berkepaklah
Menuju lautan,
Menuju semesta,
Sebuah kebebasan.
2011
SEORANG SUFI
Perilakunya itulah kata-kata
Aku melihatnya
Aku menghampirinya
Aku mengenali cahaya
Pada dirinya. Sejuk memancar
Sebuah kehadiran
Bersahaja. Seluas sabana
menghijaukan embun, pada pucuk-pucuk rumput.
2011
SOLITUDE
Aku berusaha mendaki
Kesedihan
rumah
yang lama meradang
Aku berusaha menemukan
Nyanyian
Hatiku
Pada puncak kegelapan
berseru
Melalui luka
dan rindu
Kubaca waktu
dan berusaha memastikan
Jiwa
Kaulah sumber
atas kehendak
manusia tak sanggup
seorang diri
kusingkap sendirimu
2011
SEBELUM MALAM
Aku percaya setiap upaya
untuk cahaya
Terang
menerangi jalan pulang
mengapa berlaku jahat
dan pekat memadat
dalam hati
dosa menjadi wajar
rasa menjadi tawar
Aku percaya setiap hidup
tumbuh atas apa yang diserap
dan menampak
di tiap pijakan
dan menampak
di tiap nyanyian
Aku percaya
setiap aksi manusia
mencari,
merawat,
melahirkan apa yang mesti
dicinta
dan tumbuh menjulang
atau membiarkan
tersesat,
mati,
atau tumbang.
Maka jangan abaikan,
hatimu adalah rumah
dimiliki dan memiliki
Sekian pintu
Sekian jendela di dunia
dan dirimu adalah naungan
meski rentan
maka jangan biarkan
kegelapan singgah
sebelum malam
sebelum semuanya karam
kini kau atau aku
yang datang dan pergi
Kau atau aku
yang akan memulai?
2011
N O C T U R N O
Bahkan dingin belum beranjak
dari tiap sudut
dari tiap pekat.
Pada pintu terkunci
kubaca diri
berapa kali
membuka
berapa kali menutup
berapa kali
datang
berapa kali
pergi
Permainan yang itu juga
ruang yang itu juga
di luar sembab
Cahaya muram
kukenang-kenang kisah
keusangan yang kau sebut
itu belum usai
terpendam bersama lembab
Kerinduan ini amat sunyi
BayanganMu tergenggam dalam
pencarian. Seperti Burung Hantu
Tengah malam.
Tangerang, 2009
S E N J A
Dan dalam catatan
Mungkin segala telah terukir
Kerja telah menjelma rupa
Hidup hanya hitungan
Dan nyata
pada nafas penghabisan
Pada atap
Tertera senja
Seperti langkah pulang
antara jalan dan mulut gang
menuju pintu terbuka lebar
warna muram terpapar
dan kesedihan
apakah hanya jalan gelap yang lengang?
Sampai saatnya
seorang terlepas
apakah hanya pucat?
Mungkin malam akan bercahaya
Atau hanya gulita
Seperti matahari merapat
Ke Ufuk Barat!
Di Ufuk Barat!
Dan menghilang pelan-pelan.
Wr.Mangga, Tangerang, Mei 2011
KEPADA YANG BERUMAH DI BINTANG
Akhir-akhir ini
sering kutatap kejauhan
tempat di mana kau berasal;
Kepada mahluk silam
Kuhentikan permusuhan
Jika segalanya mudah menjelma air
bening dalam perciknya
merdeka dalam arusnya
Aku akan santai
mengikuti lekuk alam
Seperti ulat berbungkus sunyi
Duka terendapkan dalam tapa
Setelah itu seperti angin lembut
atau Mahluk kecil yang jinak?
Seperti kupu-kupu?
atau Bunga?
O’sayang, mungkin cuma mimpi
Yang bertekun
di bawah langit.
Dengan hati.
Dengan nyanyi.
Dan langkah-langkah seperti petualang
Wr.Mangga, Tangerang, Oktober 2009
A U B A D E
Akulah pagi
sarat rindu
Cangkir penuh
Akulah
aroma mentari
O’buah yang ranum
akulah nyanyian
Tatapan cinta
Sebuah jendela
Kaulah harapan
Hidup di dalam hidupku.
2009-2011
S E J A R A H
Dan tahun-tahun terus lewat
Ia berumah dalam gelap
Ia terkenang wajah itu
Ia tertarik sungai itu
Dingin memeluk
rindu dalam biduk
diikutinya arus
amat pekat
Mendayung dan mendayug
Mataharikah
yang nampak di ujung?
2011
REKWIM : KERAMAT DATO
Semoga senja yang melepasmu
menuju malam
bukanlah sunyi sepi
yang membaringkanmu
di kegelapan
2011
POTRET DIRI
atas setiap makna yang kudapat
dari jalan raya atau jalan setapak
mungkin ada nama yang serupa tersesat
dalam jarring khayalku
yang terbaik tak akan kudepak
entah berapa tema
entah berapa alur
judul dan watak hidup
meracuni kepolosan
menggugah takjub
sebagaimana setiap benda
setiap jenis
mengisi semesta
kepala manusia
hati manusia
jiwa dan sepasang sayapnya
tak ada yang pantang
untuk pikiran merdeka
menjadi jalang dalam luka
menjadi cemerlang dalam gulita
aku belajar padamu
meski sesekali melalui dirimu
memahami keberadaan
memahami sifat-sifat
memahami kata-kata
yang terucap dan perbuatan
bagaimana pohon-pohon menjadi meja
karena kita manusia.
2011
DI ANTARA ANJING-ANJING
Moncong-moncong nyaring
mereka
Hawa curiga menajam
bagai tatapan taring-taring
Kesunyian
Atau tak peduli jawabnya.
Lagi pula aku bukan tuan
bagi mereka.
2011
QUO VADIS
Di kepalaku berkelebatan
bayang-bayang
entah yang mana
bisa dipercaya
ini tengah malam
simpang jalan nan kelam
jika cuma dua arah
yang benar
untuk pulang
masih akan kubiarkan
waktu dan perjalanan
meruangi kegelisahan
atau terhenti
dan tak menjadi apa-apa
aku terus melangkah
di dalam bayang-bayang
ini tengah malam
simpang jalan nan kelam.
2011
DALAM KENANGAN
Pohon gagah itu
tumbang dan lumat
rebah di antara tanah merah
kelak, seperti kau juga, tuan.
dari tanah
kembali ke tanah
meski nisan dan kuburanmu
ditandai mewah dan megah,
demi kenangan?
Apapun.
Bagiku sikap adilmu
Itulah yang penting.
Pohon gagah itu
tumbang dan lumat
hampir tanpa sisa
seperti jejak samar
di atas debu
dan angin menghapusnya
dan hujan membersihkannya
seolah dia tak pernah hidup
karena dia tak tersisa
dia tak berkubur
seperti serangga mati
Pohon gagah itu
tumbang dan lumat
seperti sejarah
semasa hidup dan mati
tak tergantikan.
2011
SERAUT WAJAH DUNIA
I
Karena si jelita Helena
maka ada darah tumpah
di Troya
II
Jika yang baik
untuk yang baik
maka Habil tak ‘kan terbunuh
III
Bicara darah
adalah bicara hidup
Cinta itu tak berwarna
seperti udara
itulah asal mula daya
yang menggetarkan
perang-perang besar
dan dada manusia
Mendorong kebaikan
atas nama Tuhan dan Surga
bertempur sampai darah
penghabisan
itulah yang menggerakkan
pikiran Columbus
menyeberangi lautan.
Seperti para pengembara lainnya
membangun surga di bumi
fana
2011
SENJA DI TEPI SUNGAI
Sendiri
membiarkan mata
merenangi arus
waktu terasa tajam
tak kuasa
mengingkari
kata-kata
nyaris tak berarti.
Aku gugup
Semenjak hidup
Lebih panjang dari rambut
dan terkadang lebih pendek
dari harapan
Mungkin seorang sanggup
tidak menyerah
meski terasing
seperti tepi
terkikis
serupa habitat
yang tak dikehendaki
karena tak pernah
menyerupai
Perut-perut besar mereka
O’serangga
Hidup ini seperti jembatan
dan jalanan
tujuan menjadi mungkin
hanya bagi manusia
kehidupan menjadi luas
atau menyempit
kecuali perut-perut mungil
di antara ilalang
dan dasar sungai
Aku membaca
bagaimana kau mati
dan hidup terus berlangsung
dengan suara
terdengar adil
seperti aliran
di antara racun
di antara sampah
Apa yang berharga?
Apa yang berhak menetap
atau terusir
O’benih
Demi akar baru
dan jalan alam
O’kecambah
bawakan aku
Hidup baru
agar kujumpai lagi
wajahmu di antara pagi
seperti bunga Lili
yang menahanku
untuk tidak bunuh diri.
2011
MALAM KEMARAU
Kemana arah kita
Bertatap selalu
Pada senja
Ah,tubuh yang fana
melihat aku
Atau kau bahagia
dan dunia
belum usai sepetak pun
jadi tempat
mencumbu damai
dan waktu
seperti sebuah jalan
akan kita habiskan
sesanggup kehendak
di mana cahaya menunjuki
Kebenaran
dan kebenaran menyebut cahaya
Ah` cinta
Melihat kau
Atau aku
Bahagia
Aku rebah
Bagaikan ladang
Kerontang
dan sebuah mimpi
dalam kepala
dan sebuah rencana
mungkin jadi nyata
telah kubaca jejak
melalui sepasang mata
kau melekat di memori
kau menetap dalam sepi
melalui telinga
sekali pun segemericik air
kau terngiang
kau pun nyata
kau yang serupa dunia
meniru sungai bening
membentang
dan aku dahaga
panjang
dan
panjang
jalannya gelap, sayang.
kemarau di mataku
di antara makna membisu
pada tiap retakan kubaca
jejak-jejak
akulah tanah hitam
duka,
letih,
meranggas
galau.
di antara reranting
doa`-doa` lara
kurus
lagi tanpa air mata
kasmaran itu
serupa tengah malam
rindu penghabisan
ah` mata air
kenangan apa pun
begelora
menyala
dan menyala
kau dengar di jiwaku?
detak jam itu
lantang
melengking
bagai hewan buruan
aku ini, sayang.
aku yang ingin beranjak.
O` Mata Air.
2011
SETELAH HUJAN
Sungguh, Dy.
Tak` kan kucatat
yang kelak sesat
namun tak kubiarkan
suatu sifat
seperti keceriaan
yang kujumpa
pada sepasang mata
bening
merayu
wajah
anak-anak.
sungguh, sayang.
aku tak mau tepi jalan
dan sebuah mimpi
meragu
putus asa
ditinggalkan
sebelum malam memadat
kaulah seorang
untuk pengembaraan akhir
kaulah peraduan
dada yang lapang
tempat
pintu
dan jendela
di mana aku mencurah
menaung dari lelah
bagai bumi kala hangat
dan ladang subur
bagi benih putihku
di mana kau rebah
menyerah
memancar
damai
dan kuhirup seluruh gairah
sebelum ajal
di mana dingin tak lagi
merongga dan hampa
ah` perjumpaan
memberi
menerima
seperti sepasang tangan
sepasang nasib
saling genggam
rindu merapat
erat
di antara dengus
hangat dan ranum
seperti ayunan
pada bandul jam
sunyi di luar melarut malam
sonata rembulan
mengalun dari uap jiwamu
dan tubuhmu fana yang melena
dan kehendak membangun
sebuah dunia
atas yang kelak musnah
apa yang tersisa
dari pergumulan
Cinta yang berkesan
dalam kenangan mendalam
kaulah seorang
tempatku melunas dendam
hasrat yang mungkin sanggup
memaknai setiap jejaknya
dengan suatu nama
bersumber
Renjana dan Cinta
yang telah lama berjalan
sendirian
di tiap lembah
ke tiap lembah
O`Mata hidupku.
O`kehangatan.
Melalui kau kutatap cahayaku.
2011
PAGI KELAM
Mustahil mengharap keadilan
Pada rumput-rumput bisu
Seorang lelaki mati pagi hari
Di sudut belukar itu
Meski langit nampak cerah
Meski mentari hangat
Meski burung-burung bernyanyi
hanya bisa menonton
Ah` hati manusia mana
Hanya sanggup terbungkam
Dan hanya bisa dendam
“siapa pelakunya?”
Mungkin seekor gagak
Melesat dari kegelapan
Jantung kekejaman
Seorang lelaki mati pagi hari
Dibunuh.
Ah` hati manusia mana
Tak bertanya
“siapa pelakunya?”
Mungkin seekor gagak
yang melesat dari sisi gelap.
2011
TERPIKIR JIKA AKU MATI
Terpikir jika aku mati
kaku malam ini
hawa kering
di antara suara-suara asing
Antara jam berdetak
dan suara jantung
penaku bergerak
dan suara di luar
orang-orang ngakak
para Insomnia sama wajar
dengan resah
dan pengembaraanku kian entah
sungguh, aku pun ingin benar
puas dan tuntas
berpangkal dan bisa betah
dalam tenang aku rebah:
tiada lagi cemas
menjalani esok
tanpa beban kemarin
hidup begitu jelas
nasib begitu elok
kenapa kini seperti labirin
Apa salah jalan?
Kasihan jiwa
Kasihan badan
Seharusnya aku tinggal di Pekalongan
Hidup dari membatik
Selebihnya nyantri pada Habib Lutfi
Atau berada di Denpasar
belajar menggambar
dari Made Budiana
Sampai I Ketut Tenang
Masih saja aku di Tangerang
Jadi lelaki pemberang
Apa salah jalan?
Kasihan jiwa
Kasihan badan
Terpikir jika aku mati
Kaku malam begini
orang menemukan mayatku
pucat dan kelu
Aku tak bisa bilang persetan
Karena meninggalkan hutang
Haruskah kukosongkan pikiran
Jika benar cara membersihkan
Kesedihan dan kekalahan
Masa lalu kelambrangan
Hidup,
Ah, apa yang kini tersisa
Kembali dari nol
Atau terus merasa tolol
Okeylah,
Kumulai dari tak banyak omong
Kumulai dari mengisi halaman-halaman kosong
Kumulai dari tak bersikap sombong
Seperti permainan rima
Pasti bagimu terdengar lucu,
Tapi aku bersungguh
Karena diriku masih Ruh dan Tubuh
Ah, hidup
Terpikir jika aku mati
kaku malam ini
Apa yang kuingat
Wajahmu yang cantik
dan Dia yang tak terbataskan
engkau sebuah jalan
dan Dia Cahaya
Mestinya mengisi sisa usia
hidupku. Bisa berharga.
Terpikir jika aku mati
Kaku
Dalam kekalahan dan payah begini
Aku tak mau tersesat
lagi. Hidup seperti bangsat.
2011
SEBUAH NEGERI
Cahaya Terang, Cahaya Terang
Aku datang dari kegelapan
Setelah gerimis penghabisan
Senja ini,
Senja yang sembab
Sebuah rumah muram
Kropos pada tiang dan kesedihan
Hampir terbenam
Ladang dan harapan hampir meremah
Di antara taring keji dan lidah
Terus beranak pinak
Sebuah pesta penghancuran dari dalam
Musim ini kian apatis
Seperti hipokrit berubah mimik
Runtuh pelan-pelan
Dan melupakan
Hidup tanpa tabik
Lahir dan lahir
Makan dan makan
Di mana tangan sejarah
nggan mencatat
lagi. Semenjak bangkai-bangkai
kian canggih disembunyikan
Apa yang bisa dipelajari sekarang
Atas perut-perut buncit
Dan kelaparan melatih diri berpolitik
Tak apa,
Sekedar jadi kaki tangan
atau gaya kuno, dari tukang tenung hingga anjing.
atau Menjilat.
Apa yang bisa jadi cermin sekarang?
Seluruh hidupmu hanya potongan kisah
yang kelak dilupakan
Zamannya serba mudah
Bahkan untuk mati, ketika kau tiada lagi punya arti
Dalam mimpiku terburuk,
Seorang bocah siap membunuh demi sebuah pesta kecil.
2011
ALLOHUMA BARIK ‘ALAIH
Mereka hanya herder
Gemuk, gagah karena nutrisi
Mereka juga punya insting
Untuk terlihat memelas
atau nampak buas yang sudah sifatnya
Jangan tanya bagaimana mereka bekerja
dan amat penurut pada majikan
mereka hanya herder
jenis pemburu yang diimport
demi kepentingan para babi
yang ingin jadi raja
pada sebuah rumah
di mana kau jadi kacung
Mereka hanya herder.
Dan jangan kwatir
Binatang buas cuma bereaksi penuh kepada rasa takut
Dan kau mengenal dirimu, kan?
2011
S A R K A S M E
Tercabik, dia mampus tercabik
Terkoyak, dia daging terkoyak
Terhina dalam kepala
Dan sebuah makna terbit
Pagi hari
Bernafas lega
Dari gelap yang menghimpit
Kecuali bahasa alam, hanya manusia yang kenal tamak
Betapa kebenaran mutlak
Dari mulutnya selama ini
Hanya demi kegagahan pribadi
Dan menghardik kehidupan tetangganya
Dia tercabik, dia mati
Terhina dalam kepala
Karena terlalu percaya
Bahwa daging akan abadi.
2011
RAJAWALI ITU
Apa yang dapat kuhirup
Sebuah buku terbuka
Di atas kayu berupa meja
Apa yang bisa kukenang
Kecuali memang sudah watak
Sebuah bangsa
Yang tak tau terima kasih
Bahwa pohon-pohon pernah tumbuh
Disantap dan dilupakan
Seperti pula jalan-jalan setapak
Atau orang seperti kau
Yang diberangus oleh lupa
Demi tembok mereka
Dan gelak tawa
Wow,
Terdengar manusiawi.
Tapi apa yang bisa kutatap
ke dalam kesunyian.
Setelah kau pergi
Meninggalkan sejumlah nyanyian
Di halaman-halaman
Yang sesekali dikunjungi
Jari jemari rapuh
Dan hati yang nanar
Bahwa betapa
Negeri ini
Amat pintar
memainkan
Iklimnya sendiri.
Seperti si culas
Menyembunyikan
apa yang pernah kau nyanyikan
dan lantangkan di angkasa.
Sekarang aku mengerti
Kenapa kau begitu gamblang
Lebih dari memotret negeri ini
Melahap dengan matamu
Luka dan duka
Kemiskinan
Kekuasaan deksura
Di antara kutang-kutang pelacur berkibar
Ketika hitam kau bilang hitam
Tai kerbau kau bilang tai kerbau
Termasuk luka busuk Zaitun si pelacur
Cukup kau saja yang menuliskan pampflet itu!
Cukup kau saja yang memilikinya!
Sekarang aku mengerti
Untuk sebuah kebenaran
Di atas kepala-kepala dungu masa itu
Waktu itu kau tak perlu metafor
Sebab zamannya sangat gamblang
Namun banyak lidah membungkam
waktu itu.
Sekarang aku mengerti, Maestro.
Aku terima kasih.
Kau telah menularkan ujung paruhmu
Ke mata hatiku
Mengubah lolongan
Bukan sebagai anjing tolol
Mengarahkan pandangan
Dengan jurus rajawali
Terima kasih
Ada yang pantas ditajamkan
Atas hari-hari tumpul
Menggelar apa yang pantas dipijak
Sebagai ilham anak-anak
bangsa ini. Sebongkah berlian
yang pantas
diperebutkan
dicemburui
dikhianati.
O’negeri yang penuh warna.
apa yang bisa kuhirup
dari tiap kilaunya.
Seandainya aku boleh mengulang
Itu adalah nyanyianmu :
“Kesadaran adalah matahari.”
karena Aku pun buronan kematian
dan hidupku.
2011